Meneropong Jejak Kesultanan Ternate
H. Hidayatussalam Syehan S.H, M.H
Mufti Jotuli Kesultanan Ternate
Dosen Hukum Adat dan Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate
Mufti Jotuli Kesultanan Ternate
Dosen Hukum Adat dan Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate
Bismillahirrahmanirrahim, tulisan ini lahir dari sebuah kerisauan dan tanggung jawab moral terhadap kemurnian dan kelangsungan kesultanan Ternate sebagai pusaka bersejarah bagi Jaziratul Mulk, Moloku Kie Raha yang dikhawatirkan memudar tergerus arus zaman.
“Tara no ate” turun dan aturlah! Inilah nama sebenarnya dari Ternate dalam sebuah versi tradisi lisan yang diturunkan dari generasi ke generasi dalam masyarakat adat Ternate. Artinya dengan logika sederhana, Ternate adalah daerah yang memiliki aturan, norma, etika, tatanan yang harus diketahui dan dijalankan oleh Gam Madihutu atau penduduk asli Ternate, baik itu dalam lingkup masyarakat adat, masyarakat pendatang, teristimewa yang berada dalam lembaga Kesultanan sebagai poros tatanan adat Ternate.
Ternate adalah sebuah nama yang telah tersohor baik di Nusantara, maupun ke seluruh penjuru belahan dunia. Eropa, Amerika, sampai jazirah Arabia orang mengenal nama Ternate. Ternate tersohor berabad-abad lampau, para raja-raja Eropa mengutus para Pangeran, Panglima, Laksamana, dengan mengorbankan biaya yang tidak sedikit bahkan nyawa untuk mencari negeri Ternate. Bahkan Indonesia menjadi rebutan bangsa-bangsa Eropa dijajah tiga setengah abad lebih karena cengkeh, pala, rempah-rempah di Ternate dan sekitarnya.
Dari sudut pandang yang lebih istimewa, Ternate ini adalah negeri yang memiliki latar belakang sejarah peradaban Islam Nusantara yang kuat. Bahkan Islam pertama kali bersentuhan dengan bumi Nusantara berawal dari sini. Ketika seorang ulama keturunan Rasulullah SAW yang bernama Syarif Rafiah Tasyrif Dja’far Shadiq datang menyiarkan agama Islam di bumi Ternate pada Muharram tahun 624 Hijriyah bertepatan dengan tahun 1204 Masehi, maka negeri ini menjadi terberkati dan keramat dalam keyakinan Ngofa se Dano anak turunan orang Ternate. Bahkan orang-orang pendatang yang menjadi penduduk Ternate hingga kini menaruh rasa hormat kepada Ternate sebagai pulau bersejarah.
Abad demi abad, generasi para ulama datang menyiarkan dan menguatkan Islam di negeri ini, hampir pada setiap generasi ada empat orang ulama yang datang dari belahan bumi Maghrib untuk menguatkan Islam di Ternate yang terkenal dengan julukan “Qutub Ngaruha”atau empat wali Qutub, maqam atau kedudukan tertinggi dalam ilmu Tasawwuf. Bukti dari keberadaan mereka adalah makam-makam keramat atau Jere, yang batu nisannya atau paesa dalam bahasa Ternate tumbuh menjadi tinggi. Bukti lain dari keberadaan mereka adalah ilmu-ilmu tarekat. Tassawuf, yang tertuang dalam kitab-kitab atau lefo bertulisan Arab dalam bahasa Ternate dan Melayu Tua juga mushaf-mushaf Al-Qur’an bertulisan tangan. Dengan landasan yang kokoh, Ternate kemudian berkembang menjadi Kesultanan yang kuat garda terdepan dalam menyiarkan agama Islam di berbagai belahan Nusantara, bahkan sampai di Zulu, Zamboanga, Filipina, dan Madagaskar Afrika Selatan.
Secara historis, Ternate pada awalnya dikuasai empat Momole, atau Raja lokal yang terdiri atas Momole Tubo, Momole Tabanga, Momole Tabona dan Momole Foramadiahi. Setelah kedatangan Syarif Dja’far Shadiq, dan keempat Momole ini memeluk Islam, maka terbentuklah empat Kerajaan Moloku Kie Raha: Moti yang kelak pindah ke Jailolo, Makian yang kemudian pindah ke Bacan, Tidore dan Tenate. Dengan adanya pembentukan empat kerajaan ini, pada tahun 1322 di masa pemerintahan Kolano Ternate ke-7, Sultan Ahmad Najamullah Sida Arif Malamo(1322-1331),diselenggarakan konferensi Moti atau Moti Verbond. Dalam Moti verboond inilah diputuskan tentang penyeragaman lembaga-lembaga dalam Kerajaan di Moloku Kie raha serta dikukuhkan Kesultanan Ternate sebagai pemimpin, Imam dari seluruh wilayah Jaziratul Mulk memegang amanat penyebaran Islam dan menetapkan struktur serta tatanan Ketatanegaraan Adat di seluruh wilayah Moloku Kie Raha.
Ternate memiliki sistem ketatanegaraan tersendiri yang berbeda dengan kerajaan-kerajaan lain di dunia. Mungkin Ternatelah satu-satunya kerajaan yang memiliki sistem demokrasi. Dalam lembaga pemerintahan Kesultanan Ternate, terdapat perwakilan dari seluruh elemen masyarakat Moloku Kie Raha yang dikenal dengan Bobato Nyagimoi Se Tufkange atau Bobato/dewan 18. Dalam bobato ini juga terdapat Gam Raha, juga Dopolo Ngaruha atau Bobato Madopolo artinya kepala dewan Kesultanan yang terdiri atas Jogugu ( Perdana Menteri), Hukum Sangaji (Menteri Luar Negeri), Hukum Soa-sio (Menteri dalam Negeri) dan Tulilamo (Sekretaris Negara) yang diangkat berdasarkanstruktur geneologis atau keturunan pemangku jabatan terdahulu,sehingga ada rasa kecintaan dan tanggung jawab moral dalam menjalankan tugasnya. Sedangkan pimpinan tertinggi armada angkatan perang Kesultanan dipegang oleh Kapitalaut yang secara hukum harus dijabat oleh saudara kandung atau putera Sultan yang dianggap terbaik, tercakap.
Dalam sistem pemerintahan Kesultanan Ternate, Bobato 18 yang dikepalai oleh Kimalaha Marsaoly atau dapat pula dipegang oleh Jogugu memiliki tugas yang teramat penting yakni mengangkat dan bahkan menurunkan Sultan. Tanpa bobato 18 Sultan tidk boleh diangkat. Sebagaimana filosofi adat Ternate bahwa Sultan sebagai “Dada ma Dopo” yang dilambangkan dengan sebutir telur indah sempurna ditopang gunungan nasi kuning sebagai penjelmaan bala kusu se kano-kano, seluruh rakyat Kesultanan Ternate. Pengangkatan seorang Sultan adalah tugas sakral dan tidak main-main Karena figure Sultan dalam adat Kesultanan adalah Tubaddilurrasul wa Khalifaturrasyid; penerus dakwah rasul dan Khalifah yang diteladani oleh seluruh rakyat, maka harus selektif dan bahkan melalui mekanisme uji secara nyata maupun ghaib dan ditetapkan melalui “Rat Bobato” atau sidang dewan. Hal ini terlihat jelas di kesultanan Tidore yang hingga kini masih menjalani proses uji keabsyahan calon Sultan, setahun lebih mangkatnya Sultan Dja’far Junus Sjah hingga kini penggantinya belum bertahta karena kesultanan Tidore benar-benar ingin menegakkan tatanan adat yang sesungguhnya.
Sultan adalah jabatan sakral. Dan berdasarkan adat, tidak satupun keturunan Sultan dibenarkan berambisi menjadi Sultan, karena predikat Khalifaturrasyid Tubadilurrasul menuntut kesempurnaan dzuriyat, ilmu dan sebagainya untuk menjadi pimpinan alam Ma Kolano. Dalam prasasti yang terpampang diambang pintu Kadato kesultanan Ternate yang ditulis oleh Sailillah Sultan Ternate ke 40 Sultan Muhammad Ali ibnu Sirajurrahman berangka 30 Dzulqaidah 1228 hijriyah. Olehnya dalam kaidah Hukum Adat Ternate yang dikenal dengan Adat se atorang, Istiadat se Kabasarang, Cing se Cingari, Ghalib se Lukudi, Sere se Duniru, Bobaso se Rasai, Kesultanan Ternate tidak mengenal Putera Mahkota. Kesultanan ini pun hanya menjunjung seorang Kolano atau Sultan, tidak ada sebutan ratu dalam sistem kesultanan apalagi sampai menjalankan tugas dan hak Kolano.
Dalam sejarah Ternate pada tahun 1610 ketika Sultan Mudaffar I dinobatkan sebagai Sultan Ternate ke 29 dalam usia 15 tahun, beliau dibantu atau pemerintahan dan urusan kesultanan dijalankan oleh delapan orang Bobato yang dikepalai oleh Jogugu Hidayat dan Kapitalau Ali hal ini merupakan pencerminan dari Ummahatul Mu’minin atau isteri Nabi yang tidak pernah mencampuri apalagi sampai mengatur Nabi.
Dalam symbol makanan adat Ternate, hanya ada satu buah telur yang dijunjung, yang bermakna hanya satu pemimpin, nilai ini juga merupakan bagian dalam ajaran Tasawuf Kie Raha yaituMentauhidkan Allah SWT, mentauhidkan Rasulullah SAW. Keistimewaan Sultan atau Kolano dalam Kesultanan Ternate inilah yang menjadi kebanggaan rakyat Moloku Kie Raha. Meskipun NKRI telah terbentuk, kedaulatan hanya bisa dimiliki oleh negara kepala negara tertinggi adalah Presiden, pada level daerah dikepalai oleh Gubernur, Bupati, Walikota, camat dan seterusnya, namun Sultan masih dihargai, disanjung, dijunjung sebagai bentuk penghargaan dan terimakasih ngofa se dano. Sultan adalah spirit, semangat dan kekuatan bagi rakyat.
Kesetiaan bala kusu se kano-kano Kesultanan Ternate adalah kesetiaan yang murni, tulus, ikhlas, atau dalam bahasa Ternate Ikhlas ma Coou Kaha, Kie se Kolano. Dari zaman ke zaman tidak ada satupun keturunan murni bala kusu ataupun Bobato yang mengabdi di Kesultanan Ternate untuk mencari materi dan kedudukan. Mulai dari Bobato, para Imam, modin-modin, sosheba atau pelayan, sampai dengan baru-baru atau tentara kesultanan semuanya ikhlas dan tulus mengabdi, memiliki rasa kecintaan yang besar terhadap Kaha, Kie, se Kolano ( tanah, negeri, kolano).
Kesetiaan ini tidak bisa dibayar dengan apapun juga dan tidak dimiliki oleh Kesultanan lain di nusantara sekarang ini. Dan yang mengabdi dan tulus pada Kesultanan adalah anak turunan dari segala lapisan masyarakat. Baik itu yang berpendidikan rendah sampai dengan yang berpendidikan tinggi. Inilah bentuk kecintaan terhadap jatidiri ngofa se dano Moloku Kie Raha. Bukan karena bodoh atau karena mencari sesuatu. Oleh karenanya, salah besar bagi siapa yang mengatakan orang Maluku Utara bodoh!. Orang Maluku Utara tidak bodoh, tetapi bermartabat dan ikhlas dalam menjunjung kesultanan bersejarah ini.
Kesultanan Ternate dan seluruh kesultanan lain di Moloku Kie Raha merupakan situs sejarah atau dalam bahasa hukum disebut cagar budaya. Keberadaannya dan seluruh harta pusakanya adalah milik negeri ini dan dilindungi oleh Undang-undang. Oleh karenanya kemurniannya harus dijaga, hukum adatnya harus ditegakkan, kembalikan segala sesuatu aturan pada tempatnya, dan tidak boleh memasukkan segala sesuatu yang bertentangan dengan adat istiadat di negeri ini, yang dalam hukum adat Ternate dikenal dengan “no sikurang mai aku ua, no sifoloi mai aku ua” artinya tidak dibenarkan mengurangi dan tidak dibenarkan menambah-nambah. Kesulltanan Ternate tidak perlu meniru kerajaan- kerajaan di Jawa,Inggris atau Belanda dengan sistem monarki absolut. Kita punya jatidiri tersendiri atau Komalo yang dengannya negeri ini pernah berjaya, menguasai 72 negeri pada masa Sultan Baabullah (1570-1583).
Ingat bahwa inilah pusaka dan kebanggaan rakyat Moloku Kie Raha, amanat dari para Auliyaallah dan Kolano-kolano terdahulu yang jika tidak dijaga kemurniannya, maka suatu saat generasi berikutnya atau bahkan generasi sekarang tidak lagi mendapatkan jejak kebesaran dan kebanggaan dari Kesultanan bersejarah ini, atau bahkan bisa mengundang musibah besar, sebagaimana yang tertulis bahkan terlihat dalam sejarah. Naudzubillahi min dzaalik.
Semoga tulisan sederhana ini bisa mengetuk hati seluruh dzuriyat keturunan para Kolano, Joguru, Bobato, Bang’sa, Fanyira, Kapita, Kimalaha, dan bala kusu se kano-kano atau siapapun juga yang hidup di bumi Moloku Kie Raha, Jaziratul Mulk agar menyadari betapa pentingnya menjaga mempertahankan martabat, jatidiri dan kebesaran Kaha, Kie se Kolano sebagai pusaka dan amanat para leluhur dalam alam arwah. Semoga Kesultanan Ternate, sebagai saksi syiar Islam di Nusantara dan di negeri-negeri jauh senantiasa dilindungi oleh Allah SWT dan menjadi pusaka penopang Negara kesatuan Republik Indonesia NKRI, Insya Allah. Wallahu a’lamu bissawab.
Sumber : Malut Post